INFO-PEMBEBASAN

Diterbitkan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Jl. Utan Kayu No. 17 A, Jakarta

Homepage: http://www.peg.apc.org/~prdint1

 

 

PRD MENOLAK PERNYATAAN CIGANJUR

 

Hari ini, Ketua Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD), Faisol Reza, mengadakan konferensi pers yang isinya menolak Deklarasi yang dikeluarkan oleh empat tokoh (Megawati Soekarnoputri, Gus Dur, Amien Rais dan Sultan Hamengku Buwono X) di Ciganjur kemarin. Menurut Reza, pernyataan itu tidak memberi apa-apa, tidak sesuai dengan tuntutan rakyat, dan justru memoderasi tuntutan rakyat. Saat ini mahasiswa dan sebagian besar rakyat menolak Sidang Istimewa MPR boneka Soharto, namun keempat tokoh ini justru, sebaliknya, melegitimasinya. Deklarasi itu mendapat respon cukup besar oleh media massa resmi dan Radio Republik Indonesia (RRI), namun respon dari mahasiswa dan rakyat hampir tidak ada. Mahasiswa kecewa dengan isi deklarasi itu.

Berikut adalah wawancara dengan Reza mengenai situasi terakhir dan pernyataan itu.

 

PEMBEBASAN (P) : Bisa dijelaskan mengapa PRD menolak isi deklarasi itu ?

Faisol Reza (FR) : PRD menyesalkan isi deklarasi itu karena tidak sesuai dengan aspirasi mahasiswa dan rakyat. Mahasiswa dan rakyat menolak Sidang Istimewa, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, dan pengadilan terhadap Soeharto. Tapi, pernyataan itu tidak ada bedanya dengan pernyataan para wakil rakyat boneka di MPR itu. Mereka mengakui Sidang Istimewa, yang nyata-nyata adalah hanya untuk menguatkan status-quo, dan hanya menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI secara bertahap. Soal pengadilan Soeharto, mereka hanya mengatakan
pemeriksaan harta KKN dan pemeriksaan itu diawali dari Soeharto. Namun, tentunya dosa Soeharto tidak hanya KKN, tapi bagaimana dengan pembantaian terorganisasi terhadap rakyat setelah peristiwa 1965, pembantaian kaum Muslim di Aceh, Lampung, Tanjung Priok dan lain-lain ? Bagaimana dengan kudeta terhadap pemerintahan Bung Karno ? Bagaimana dengan invasi ke Timor Leste ? Ini artinya, tidak usah menunggu pemeriksaan terhadap dosa KKN dia, tapi Soeharto harus ditangkap segera, seperti Pinochet dari Chile. Satu-satunya yang berguna dari pernyataan itu hanyalah menyerukan pembubaran pengamanan swakarsa. Soal pembubaran pengamanan swakarsa, kami seratus persen mendukung Deklarasi Ciganjur itu. Yang lainnya, jelas, bertentangan dengan aspirasi mahasiswa dan rakyat saat ini.

P : Sudah selama beberapa hari ini Bung dan kawan-kawan PRD lain, bersama banyak kelompok lain dan massa mahasiswa, melakukan aksi menolak Sidang Istimewa MPR, serta melakukan orasi-orasi. Apa pengaruh Deklarasi Ciganjur terhadap mahasiswa yang ikut aksi tersebut ?

FR : Tidak ada pengaruhnya. Mahasiswa tetap mempunyai tuntutan sesuai hati nuraninya, tidak terpengaruh oleh elit politik manapun. Justeru setelah keluar pernyataan itu banyak mahasiswa yang kecewa. Pada aksi hari ini semakin banyak massa mahasiswa dan rakyat yang terlibat. Yang jelas, mayoritas mahasiswa tidak berpengaruh dan tetap yakin dengan strateginya. Strategi gerakan massa telah terbukti paling tepat, lebih-lebih ketika semua saluran formal sudah dikooptasi oleh penguasa, dan sampai sekarang saluran-saluran itu belum terlepas dari kooptasi itu.

P : Keempat tokoh itu menyatakan bahwa Pemilu harus dilakukan secepatnya karena itu merupakan satu-satunya cara yang konstitusional.

FR : Sekarang ini kita harus memiliki perspektif baru. Kita tidak boleh terpaku oleh jargon-jargon Orde Baru yang selalu bicara konstitusional tapi kenyataannya cara-cara yang disebut konstitusional itu hanya menguntungkan penguasa. Tidak benar kalau dikatakan bahwa metode perjuangan ekstra-parlementer, yang sering dinilai tidak konstitusional itu, merupakan bentuk anarkisme. Kawan-kawan mahasiswa, saya pikir, bukan menginginkan anarkisme. Maka dari itu kami selalu menyerukan pentingnya aksi massa terorganisasi. Bagi kami, persoalan sekarang adalah sistem lama yang sudah bangkrut. Kita menuntut sistem baru. Bagaimana kita harus selalu konstitusional, padahal konstitusi itu, maksud saya peraturan-peraturan legal-formal itu, yang justeru harus diperbaharui. Jadi lucu.

P : Gus Dur bilang bahwa tidak realistis mencabut Dwi Fungsi ABRI dengan segera, tidak mungkin mengganti para gubernur, bupati, dan lain-lain dalam waktu cepat ?

FR : Kenapa tidak mungkin ? Begitu banyak tokoh-tokoh pro-demokrasi di daerah-daerah yang benar-benar mampu dan berpihak kepada rakyat. Bahkan, sekarang mendirikan pemerintahan sementara pun mungkin. Potensi sudah tersedia, yaitu komite-komite perjuangan yang jumlahnya ratusan lebih, yang ada di nasional dan daerah-daerah. Jelas, komite-komite perjuangan ituah yang harus duduk dalam pemerintahan sementara, di samping organisasi-organisasi dan partai-partai politik yang ada. Coba bayangkan, tahun 1945, para pejuang kemerdekaan bisa membuat negara dalam semalam. Atau juga bandingkan dengan Soeharto, dia bisa mengganti pejabat dari pusat sampai desa-desa dalam waktu tidak lama. Sekarang, jauh lebih bagus. Sudah berbulan-bulan rakyat berorganisasi, sudah biasa memerintah kelompoknya. Menurut saya persoalannya bukan mungkin atau tidak mungkin. Dari yang saya lihat, memang beberapa elit oposisi mempunyai strategi yang berbeda, mengusahakan perjuangan dengan cara pemilu.

P : Jadi, apakah mahasiswa akan tetap berjuang lewat jalur ekstra-parlementer ? Bagaimana dengan pemilu itu sendiri ?

FR : Tentu jalur ekstra parlementer yang paling memungkinkan sebab justru parlemen itu yang harus direformasi. Dan juga jalur-jalur legal-formal lain, seperti pemilu juga. Jadi, kita itu memang mau mereformasi itu, tapi kok harus melalui jalur itu. Jadi, ya, direformasi dulu parlemennya, sistem pemilunya, baru bisa dipakai. Selama belum direformasi, tentu tidak akan demokratis. Jadi, kami melihat, yang paling penting memperbaharui mekanisme demokrasi dulu, soal mengisi orang-orangnya, akan ditentukan oleh mekanisme yang sudah benar-benar demokratis itu. Jangan sebaliknya, yang penting mencapai kursi presiden dulu, nanti sistemnya belakangan. Ini terbalik. Bagaimana bisa muncul presiden yang benar-benar sesuai aspirasi rakyat jika mekanismenya tidak didemokratiskan dulu?

P : Ada pengamat politik yang melihat sedang terjadi perpecahan di kalangan oposisi dan di kalangan gerakan mahasiswa. Apa benar demikian ?

FR : Saya pikir itu berlebih-lebihan. Saya melihat bahwa memang sedang terjadi proses kristalisasi yang mana proses ini terus terjadi. Memang pada akhirnya terjadi pengelompokan-pengelompokan berdasarkan macam-macam hal seperti platform politik, strategi-taktik, dan lain-lain. Bagi kawan-kawan PRD sendiri, pada situasi seperti ini yang paling penting adalah adanya debat program dan strategi-taktik. Dengan demikian, proses reformasi ini benar-benar menghasilkan buah yang benar-benar matang. Justru itulah, makna penting demokratisasi, yaitu membuka seluas-luasnya iklim debat, perbedaan pendapat, dan tentu saja perbedaan kepentingan. Tanpa ada itu, tentunya belum demokratis.

 


Latar belakang :

Faisol Reza adalah Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD). Faisol Reza dipilih melalui Pertemuan Dewan Nasional PRD setelah Andi Arief tidak bersedia menjadi ketua KPP karena masih memegang jabatan sebagai Ketua Umum Solidaritas Mahassiwa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Reza, demikai ia biasa dipanggil, adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sebelumnya ia kuliah di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Reza Lahir di Situbondo, Jawa Timur. Ayahnya adalah pemilik sebuah pondok pesantren di sana.

Menjelang Sidang Umum MPR yang lalu Reza diculik dan disiksa oleh militer. Bersama Reza, juga diculik Raharjo Waluyo Jati, Andi Arief, Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Suyat, Nezar Patria, Mugiyanto, Aan Rusdiyanto. Juga aktivis dari organisasi lain, yakni Pius, Desmon, Deddy Hamdun, Yani Avri, dan lain-lain.